Jumat, 27 November 2009

WAWASAN AL-QURAN

ILMU DAN TEKNOLOGI (1/2)

Pandangan Al-Quran tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui
prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima
oleh Nabi Muhammad Saw.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah.
Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia
apa yang tidak diketahuinya (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).

Iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari
menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik
teks tertulis maupun tidak.

Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca,
karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama
bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk
kemanusiaan. Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah,
ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman,
sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak.
Alhasil, objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang
dapat dijangkaunya.

Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan
sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan
diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca
hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan.
Tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang
bacaan bismi Rabbik (demi Allah] akan menghasilkan pengetahuan
dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga.
Demikian pesan yang dikandung Iqra' wa rabbukal akram (Bacalah
dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah).

Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Quran diperoleh isyarat
bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu
Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain
sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum
diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau
atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar tanpa
alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya
berasal dari satu sumber, yaitu Allah Swt.

Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum
subjek dituntut peranannya untuk memahami objek. Namun
pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa objek terkadang
memperkenalkan diri kepada subjek tanpa usaha sang subjek.
Misalnya komet Halley yang memasuki cakrawala hanya sejenak
setiap 76 tahun. Pada kasus ini, walaupun para astronom
menyiapkan diri dengan peralatan mutakhirnya untuk mengamati
dan mengenalnya, sesungguhnya yang lebih berperan adalah
kehadiran komet itu dalam memperkenalkan diri.

Wahyu, ilham, intuisi, firasat yang diperoleh manusia yang
siap dan suci jiwanya, atau apa yang diduga sebagai
"kebetulan" yang dialami oleh ilmuwan yang tekun, semuanya
tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat
dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah pengajaran
tanpa qalam yang ditegaskan oleh wahyu pertama Al-Quran
tersebut.

ILMU

Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam
Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian
pengetahuan dan objek pengetahuan. 'Ilm dari segi bahasa
berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar
katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan misalnya kata
'alam (bendera), 'ulmat (bibir sumbing), 'a'lam
(gunung-gunung), 'alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah
pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian,
kata ini berbeda dengan 'arafa (mengetahui)' a'rif (yang
mengetahui), dan ma'rifah (pengetahuan).

Allah Swt. tidak dinamakan a'rif' tetapi 'alim, yang berkata
kerja ya'lam (Dia mengetahui), dan biasanya Al-Quran
menggunakan kata itu --untuk Allah-- dalam hal-hal yang
diketahuinya, walaupun gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan.
Perhatikan objek-objek pengetahuan berikut yang dinisbahkan
kepada Allah: ya'lamu ma yusirrun (Allah mengetahui apa yang
mereka rahasiakan), ya'lamu ma fi al-arham (Allah mengetahui
sesuatu yang berada di dalam rahim), ma tahmil kullu untsa
(apa yang dikandung oleh setiap betina/perempuan), ma fi
anfusikum (yang di dalam dirimu), ma fissamawat wa ma fil ardh
(yang ada di langit dan di bumi), khainat al-'ayun wa ma
tukhfiy ash-shudur (kedipan mata dan yang disembunyikan dalam
dada). Demikian juga 'ilm yang disandarkan kepada manusia,
semuanya mengandung makna kejelasan.

Dalam pandangan Al-Quran, ilmu adalah keistimewaan yang
menjadikan manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna
menjalankan fungsi kekhalifahan. Ini tercermin dari kisah
kejadian manusia pertama yang dijelaskan Al-Quran pada surat
Al-Baqarah (2) 31 dan 32:

Dan dia (Allah) mengajarkan kepada Adam, nama-nama
(benda-benda) semuanya. Kemudian Dia mengemukakannya
kepada para malaikat seraya berfirman, "Sebutkanlah
kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar (menurut dugaanmu)." Mereka
(para malaikat) menjawab, "Mahasuci Engkau tiada
pengetahuan kecuali yang telah engkau ajarkan.
Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana."

Manusia, menurut Al-Quran, memiliki potensi untuk meraih ilmu
dan mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu,
bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai
cara untuk mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali pula Al-Quran
menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang-orang yang
berpengetahuan.

Menurut pandangan Al-Quran --seperti diisyaratkan oleh wahyu
pertama-- ilmu terdiri dari dua macam. Pertama, ilmu yang
diperoleh tanpa upaya manusia, dinamai 'ilm ladunni, seperti
diinformasikan antara lain oleh Al-Quran surat Al-Kahfi (18):
65.

Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan
seorang hamba dan hamba-hamba Kami, yang telah Kami
anugerahkan kepadanya rahmat dari sisi Kami dan telah
Kami ajarkan kepadanya ilmu dan sisi Kami.

Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamai 'ilm
kasbi. Ayat-ayat 'ilm kasbi jauh lebih banyak daripada yang
berbicara tentang 'ilm laduni.

Pembagian ini disebabkan karena dalam pandangan Al-Quran
terdapat hal-hal yang "ada" tetapi tidak dapat diketahui
melalui upaya manusia sendiri. Ada wujud yang tidak tampak,
sebagaimana ditegaskan berkali-kali oleh Al-Quran, antara lain
dalam firman-Nya:

Aku bersumpah dengan yang kamu lihat dan yang kamu
tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39).

Dengan demikian, objek ilmu meliputi materi dan non-materi.
fenomena dan non-fenomena, bahkan ada wujud yang jangankan
dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak.

Dia menciptakan apa yang tidak kamu ketahui (QS
Al-Nahl [16]: 8)

Dari sini jelas pula bahwa pengetahuan manusia amatlah
terbatas, karena itu wajar sekali Allah menegaskan.

Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS
Al-lsra'[17]: 85).

OBJEK ILMU DAN CARA MEMPEROLEHNYA

Berdasarkan pembagian ilmu yang disebutkan terdahulu, secara
garis besar objek ilmu dapat dibagi dalam dua bagian pokok,
yaitu alam materi dan alam non-materi. Sains mutakhir yang
mengarahkan pandangan kepada alam materi, menyebabkan manusia
membatasi ilmunya pada bidang tersebut. Bahkan sebagian mereka
tidak mengakui adanya realitas yang tidak dapat dibuktikan di
alam materi. Karena itu. objek ilmu menurut mereka hanya
mencakup sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang
secara kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas, dan
pengalihan antarbudaya.

Objek ilmu menurut ilmuwan Muslim mencakup alam materi dan
non-materi. Karena itu, sebagai ilmuwan Muslim --khususnya
kaum sufi melalui ayat-ayat Al-Quran-- memperkenalkan ilmu
yang mereka sebut al-hadharat Al-Ilahiyah al-khams (lima
kehadiran Ilahi) untuk menggambarkan hierarki keseluruhan
realitas wujud. Kelima hal tersebut adalah: (l) alam nasut
(alam materi), (2) alam malakut (alam kejiwaan), (3) alam
jabarut (alam ruh), (4) alam lahut (sifat-sifat Ilahiyah), dan
(5) alam hahut (Wujud Zat Ilahi).

Tentu ada tata cara dan sarana yang harus digunakan untuk
meraih pengetahuan tentang kelima hal tersebut.

Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatu pun. dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu
bersyukur (menggunakannya sesuai petunjuk Ilahi untuk
memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]: 78).

Ayat ini mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu,
pendengaran, mata (penglihatan) dan akal, serta hati.

Trial and error (coba-coba), pengamatan, percobaan, dan
tes-tes kemungkinan (probability) merupakan cara-cara yang
digunakan ilmuwan untuk meraih pengetahuan. Hal itu disinggung
juga oleh Al-Quran, seperti dalam ayat-ayat yang memerintahkan
manusia untuk berpikir tentang alam raya, melakukan
perjalanan, dan sebagainya, kendatipun hanya berkaitan dengan
upaya mengetahui alam materi.

Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan di bumi
... (QS Yunus [10]: 101).

Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta
diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana
gunung ditancapkan dan bagaimana bumi dihamparkan?
(QS Al-Ghasyiyah [88]: 17-20).

Apakah mereka tidak memperhatikan bumi? Berapa banyak
Kami tumbuhkan di bumi itu aneka ragam tumbuhan yang
baik? (QS Al-Syu'ara' [26]: 7)

Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di bumi ...
(QS 12: 109; 22: 46; 35: 44; dan lain-lain).

Di samping mata, telinga, dan pikiran sebagai sarana meraih
pengetahuan, Al-Quran pun menggarisbawahi pentingnya peranan
kesucian hati.

Wahyu dianugerahkan atas kehendak Allah dan berdasarkan
kebijaksanaan-Nya tanpa usaha dan campur tangan manusia.
Sementara firasat, intuisi, dan semacamnya, dapat diraih
melalui penyucian hati. Dari sini para ilmuwan Muslim
menekankan pentingnya tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa) guna
memperoleh hidayat (petunjuk/pengajaran Allah), karena mereka
sadar terhadap kebenaran firman Allah:

Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan
diri di muka bumi --tanpa alasan yang benar-- dari
ayat-ayat Ku ... (QS Al-A'raf [7]: 146).

Berkali-kali pula Al-Quran menegaskan bahwa inna Allah la
yahdi, sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada
al-zhalimin (orang-orang yang berlaku aniaya), al-kafirin
(orang-orang yang kafir), al-fasiqin (orang-orang yang fasik),
man yudhil (orang yang disesatkan), man huwa kadzibun kaffar
(pembohong lagi amat inkar), musrifun kazzab (pemboros lagi
pembohong), dan lain-lain.

Memang, mereka yang durhaka dapat saja memperoleh secercah
ilmu Tuhan yang bersifat kasbi, tetapi yang mereka peroleh itu
terbatas pada sebagian fenomena alam, bukan hakikat (nomena).
Bukan pula yang berkaitan dengan realitas di 1uar alam materi.
Dalam konteks ini Al-Quran menegaskan:

... Tetapi banyak manusia yang tidak mengetahui.
Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari
kehidupan dunia sedangkan tentang akhirat mereka
lalai (QS Al-Rum [30]: 6-7).

Para ilmuwan Muslim juga menggarisbawahi pentingnya
mengamalkan ilmu. Dalam konteks ini, ditemukan ungkapan yang
dinilai oleh sementara pakar sebagai hadis Nabi Saw.:

Barangsiapa mengamalkan yang diketahuinya maka Allah
menganugerahkan kepadanya ilmu yang belum
diketahuinya.

Sebagian ulama merujuk kepada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
282 untuk memperkuat kandungan hadis tersebut.

Bertakwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajar kamu.
Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Atas dasar itu semua, Al-Quran memandang bahwa seseorang yang
memiliki ilmu harus memiliki sifat dan ciri tertentu pula,
antara lain yang paling menonjol adalah sifat khasyat (takut
dan kagum kepada Allah) sebagaimana ditegaskan dalam
firman-Nya,

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya adalah ulama (QS Fathir [35]: 28).

Dalam konteks ayat ini, ulama adalah mereka yang memiliki
pengetahuan tentang fenomena alam.

Rasulullah Saw. menegaskan bahwa:

Ilmu itu ada dua macam, ilmu di dalam dada, itulah
yang bermanfaat, dan ilmu sekadar di ujung lidah,
maka itu akan menjadi saksi yang memberatkan manusia.

MANFAAT ILMU

Dari wahyu pertama, juga ditemukan petunjuk tentang
pemanfaatan ilmu. Melalui Iqra' bismi Rabbika, digariskan
bahwa titik tolak atau motivasi pencarian ilmu, demikian juga
tujuan akhirnya, haruslah karena Allah.

Syaikh Abdul Halim Mahmud, mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar,
memahami Bacalah demi Allah dengan arti untuk kemaslahatan
makhluknya. Bukankah Allah tidak membutuhkan sesuatu, dan
justru makhluk yang membutuhkan Allah Swt.?

Semboyan "ilmu untuk ilmu" tidak dikenal dan tidak dibenarkan
oleh Islam. Apa pun ilmunya, materi pembahasannya harus bismi
Rabbik, atau dengan kata lain harus bernilai Rabbani. Sehingga
ilmu yang --dalam kenyataannya dewasa ini mengikuti pendapat
scbagian ahli-- "bebas nilai", harus diberi nilai Rabbani oleh
ilmuwan Muslim.

Kaum Muslim harus menghindari cara berpikir tentang
bidang-bidang yang tidak menghasilkan manfaat, apalagi tidak
memberikan hasil kecuali menghabiskan energi. Rasulullah Saw.
sering berdoa,

Wahai Tuhan, Aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang
tidak bermanfaat.

Atas dasar ini pula berpikir atau menggunakan akal untuk
mengungkap rahasia alam metafisika, tidak boleh dilakukan.
Artinya, hati mesti dipergunakan untuk menjelajahi alam
metafisika.

Menarik untuk dikemukakan bahwa ayat-ayat Al-Quran vang
berbicara tentang alam raya, menggunakan redaksi yang
berlainan ketika menunjukkan manfaat yang diperoleh dan alam
raya, walaupun objek atau bagian alam yang diuraikan sama.

Perhatikan misalnya ketika Al-Quran menguraikan as-samawat
wal-ardh. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 164, penjelasan
ditutup dengan menyatakan, la ayatin liqaum(in) ya'qilun
(sungguh terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal).
Sedangkan dalam Al-Quran surat Ali-'Imran ayat 90, ketika
menguraikan persoalan yang sama diakhiri dengan la ayatin
li-ulil albab (pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
bagi Ulil Albab [orang-orang yang memiliki saripati segala
sesuatu].

Inilah antara lain fashilat {penutup) ayat-ayat yang berbicara
tentang alam raya, yang darinya dapat ditarik kesan adanya
beragam tingkat dan manfaat yang seharusnya dapat diraih oleh
mereka yang mempelajari fenomena alam: yatafakkarun (yang
berpikir) (QS 10: 24) ya'lamun (yang mengetahui) (QS 10: 5),
yatazakkarun (yang mengambil pelajaran) (QS 16: 13), ya'qilun
(yang memahami) (QS 16: 12), yasma'un (yang mendengarkan) (QS
30: 23), yuqinun (yang meyakini) (QS 45: 4), al-mu'minin
(orang-orang yang beriman) (QS 45: 3), al-'alimin (orang-orang
yang mengetahui) (QS 30: 22).

---------------- (bersambung 2/2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar